Jumat, 21 Maret 2014

Cerita Temannya Teman Saya Part II

"Wahai, aku masih belum mengerti mengapa engkau tak ingin menemuinya?"
"Haruskah aku jelaskan secara detail padamu?"
"Jika kau ingin, katakanlah"
"Jika aku tak ingin?"
"Ayolah, katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu"
"Kau masih saja memaksa, jadi sebenarnya siapa yang ingin?"
"Hhh, baiklah aku yang meginginkannya. Aku penasaran"
"Sebenarnya aku tak ingin lagi mengungkit hal itu..."
"Apa kini kau membencinya?"
"Tentu saja tidak, kau pikir waktu lebih dari 5 tahun yang kuhabiskan untuk mencintainya bisa terhapus hanya dengan waktu 3 bulan saja?"
"Lalu mengapa kau tak ingin menemuinya?"
"Bukankah aku sudah mengatakannya kepadamu?"
"Kapan?"
"Kau tak mengindahkan semua perkataanku. Sudahlah, jangan bertanya lagi"
"Hey, ayolah, mengapa kau menjadi begitu sensitif?"
"Aku tidak membencinya, aku hanya tidak ingin menanggung risiko jika aku memutuskan untuk menemuinya"
"Risiko? Risiko apa?"
"Kau tak akan mengerti"
"Ya, tentu saja aku tak akan mengerti jika kau tak berusaha menjelaskannya padaku sehingga aku bisa mengerti"
"Sulit. Sangat sulit untuk kujelaskan"
"Apa ini ada hubungannya dengan pertanyaan pernikahan yang kau ajukan padaku?"
"....."
"Kau diam? Bukankah tebakanku benar?"
"...."
"Mengapa? Mengapa kau begitu berlebihan menanggapinya?"
"Apa kau bilang? berlebihan katamu? hey, kau sendiripun mengatakan bahwa pernikahan tidak pantas dipermainkan"
"Ya, benar pernikahan tak pantas dipermainkan, kau hanya mengibaratkan. Bukankah tidak terjadi pernikahan di antara kalian?"
"Apa bedanya dengan janji pernikahan..."
"Hahaha...ayolah, aku yakin kau pasti tahu, Afgan pun tahu bahwa jodoh pasti bertemu"
"Ya, dia mengatakan hal yang sama sebelum akhirnya memutuskan meninggalkanku"
"Nah, itu kau mengerti"
"Ya, aku mengerti, yang tidak kumengerti mengapa dia harus mengatakan hal tersebut setelah dia mengajakku...."
"menikah?"
"...."
"Oh, come on! Lalu kau merasa tidak berarti saat dia meninggalkanmu setelah mengajak kau menikah?"
"Tentu saja!"
"Kekanak-kanakan sekali"
"..."
"Wahai, dia sudah memilih jalan yang baik dan mungkin saja benar. Mengapa kau tidak menghormati keputusannya dan malah uring-uringan begini?"
"Kau tidak tahu apa-apa. Aku selalu menghormati keputusannya andaikan dia mau mengatakannya padaku"
"Bukankah dia mengatakannya?"
"Ya, tapi tidak semuanya. Ah sudahlah, kau terlalu kepo"
"Aku hanya ingin membantumu untuk bertemu dengannya jika kelak dia datang"
"Tidak perlu. Itu merepotkanmu"
"Tidak, sama sekali tidak"
"Toh dia juga tak akan pernah mau bertemu denganku"
"Siapa bilang? Bagaimana jika ternyata dia mau?"
"Ah sudahlah, kau terlalu banyak berkhayal"
"Ayolah, temuilah jika dia datang"
"Tidak"
"Mengapa?"
"Mengapa harus?"
"hhhh mulai lagi, temuilah, apa kau memang benar membencinya kini?"
"Tidak"
"Lalu mengapa?"
"Aku tak ingin menanggung risiko dan aku yakin kau pun tak kan mampu bertanggung jawab atasku"
"Jika?"
"Jika aku bertemu dengannya, lalu aku mulai merasakan getaran cinta itu tumbuh (lagi)"

Senin, 17 Maret 2014

Cerita Temannya Teman Saya

"Jika kelak dia kembali, apa kau akan menemuinya?"
"Tidak"
"Mengapa?"
"Mengapa aku harus menemuinya?"
"Ya, mengapa kau tak ingin menemuinya?"
"Bisa kau beri aku alasan, mengapa aku harus menemuinya?"
"Huufft, datanglah, setidaknya sebagai seorang teman"
"Untuk apa?"
"Untuk bersilaturahmi, tentu saja"
"Baiklah, aku akan datang jika semua temannya pun datang. Jika ada satupun yang tak datang, aku pun berhak untuk tak datang"
"Mengapa kau begitu keras kepala?"
"Mengapa kau begitu memaksa?"
"Ayolah, bersikap dewasalah. Hadapi semuanya dengan hati lapang"
"Ya, tentu saja, tapi tidak dengan menemuinya lagi"
"Kau benar-benar....."
"Benar-benar apa? Kau tidak merasakan bagaimana rasanya jadi aku, kan? Bagaimana aku hampir gila karenanya.."
"...."
"Apa yang kau pikirkan tentang pernikahan?"
"Aku? Mengapa kau tanyakan itu padaku? Kau tak hendak mengajakku menikah, bukan?"
"Sudah, jawab saja"
"Sesuatu yang amat sakral dan semua orang tentunya berharap hanya bisa merasakan itu sekali seumur hidupnya"
"Apa pantas pernikahan dipermainkan?"
"Tentu saja tidak"
"Apa yang ada dipikiranmu jika seseorang mengajakmu untuk menikah?"
"Jika orang tersebut adalah orang yang kukehendaki tentu saja aku sangat senang. Dia sangat mencintaiku"
"Kau Senang"
"Ya"
"Lalu bagaimana ketika kau masih terbuai dengan kesenanganmu, tiba-tiba orang tersebut meninggalkanmu?"
"...."
"Apa yang kau pikirkan?"
"Betapa tidak berartinya diriku hingga ia bisa mempermainkanku sedemikian itu"
"Itu juga yang aku rasakan, jadi jangan sekali-kali lagi kau memintaku untuk menemuinya jika dia datang"

Mereka, Kawanku Part II

Karena hidup tidak melulu soal cinta kepada pasangan.

Oh iya, pada postingan kemarin  di akhir saya beri note: to be continued, nah sambungannya tidak pada postingan selanjutnya melainkan bisa dilihat pada postingan teman saya di sini. Atau bisa juga membaca masing-masing karakter kami pada fiksi mini ini. Karakter yg diceritakan dalam fiksi mini tersebut memang 'hampir' sesuai dengan masing-masing karakter di antara kami, tapi jujur saya merasa jiji sekali dengan karakter saya yang diceritakan oleh si emak hahaha. Cerita itu fiksi artinya tidak semua yang diceritakan di situ nyata terjadi. Eh, satu hal lagi yang bohong dari fiksi tersebut, karakter emak sebenernya gak sekalem itu. Serius! Believe me wkwk *peace, mak!*
 Lalu bagaimana tanggapan saya sendiri mengenai masing-masing dari mereka? Kalau untuk urusan ini, saya menjadi pengikut Rozi yang tidak akan mengumbarnya di publik karena ini tidak hanya menyangkut saya. Biar masing-masing dari kami saja yang tahu. Pada intinya, di mata saya, Iza itu seperti per, Indi seperti cambuk, Budi seperti cermin, dan Rozi seperti air. Terserah mau ditafsirkan seperti apa :D



Hampir semua orang yang mengenal saya, pasti tahu mengenai cinta pada pasangan yang selalu berakar kuat di dalam lubuk hati saya *halah, saya juga terkenal dengan orang yang sangat sulit move on. Saya tidak menyangkal itu. Akan tetapi belakangan ada yang menampar saya untuk berani membuka mata. Membaca kenyataan.

Jika pada video perdana yang dibuat salah satu harapan saya ingin segera menikah, lain halnya dengan saat ini, saya sudah mengubah rencana alur hidup saya. Dan, hey! Entahlah, saya merasa lebih dewasa dan bisa berpikir lebih tenang serta positif! hahaha. Saya memiliki dua rencana untuk masa depan saya. Urusan jodoh? Tidak, tidak hanya tentang itu. Kali ini untuk urusan jodoh saya tidak akan terlalu ikut campur tangan, saya sudah memasrahkan urusan tersebut pada-Nya karena saya tahu saya sudah ditakdirkan dengan dia yang telah lebih dulu tercatat di lauhul mahfuz. 

Bagi saya jodoh adalah misteri. Misteri yang akan mengungkap tabir dengan sendirinya.

Mari ikuti juga blog Budi, Iza, Rozi, dan Indi.